Just checking a result on blogspot view while i write on the go
M - DBS
“Apa boleh buat, jalan seorang penulis adalah jalan kreativitas, di mana segenap penghayatannya terhadap setiap inci gerak kehidupan, dari setiap detik dalam hidupnya, ditumpahkan dengan jujur dan total, seperti setiap orang yang berusaha setia kepada hidup itu sendiri—satu-satunya hal yang membuat kita ada.” Seno Gumira Ajidarma
Krakatau 1: Krakatoa Aku Datang
Hembusan dingin terasa menyeruak ruangan rumah yang berisi
dengkuran beberapa laki-laki kelelahan ketika pintu dibuka lebar. Hawa panas
pinggiran laut sejak siang sudah sirna menyatu bersama buliran keringat yang
mendingin dan lembab .
Sebesi selalu menjadi tuan rumah bagi wisatawan lokal dan mancanegara. Di samping memiliki fasilitas home stay dan transportasi kapal yang memadai, posisinya pun strategis menguntungkan wisatawan yang membidik Anak Krakatau sebagai destinasi wisata di akhir pekan. Agustus hingga Oktober adalah bulan-bulan tingginya jumlah wisatawan. Air laut surut, gelombang laut yang cenderung tenang dan pemandangan bawah laut yang begitu indah disinari matahari. Warna biru toska yng berimpitan dengan biru pekat menjadi pemandangan yang menggairahkan decak kagum. Mendekati Desember hingga awal tahun waktu yang tidak pas untuk berkunjung karena tingginya intensitas hujan dan badai pasang lautan.
“Berapa jam ke Anak Krakatau? “ tanyaku pada Al, pria yang membangunkan kami tadi.
“Sekitar dua jam dan nanti kita treking Gunung Anak Krakatau sekitar 30 menit.” Jawabnya.
Aku pun bergegas, berganti pakaian dan menuju dermaga Sebesi. Bercelana pendek dengan dua potong baju kaos tipis, walau sepertinya tidak berguna di hawa dingin angin pantai.
“Sialnya jaket hilang sebelum berguna di waktunya. Duh nasib,” gumamku lirih. Terbayang jaket parasut merah yang telah ku persiapkan entah di mana saat ini. Entah sudah dipakai awak bus di Pulo Gadung, pengamen jalanan atau penumpang bus yang kebetulan menemukan jaketku yang terjatuh. Akibatnya, aku harus cari cara agar tidak kedinginan di terjang angin laut.
Saat itu, jarum jam tangan sedang menunjukkan pukul 02.00
wib dini hari.
“Yuk siap-siap, kapal
sudah siap di dermaga. Jangan lupa bawa pakaian renang, kita langsung
snorkling,” seru seorang pria yang sejak tadi mondar-mandir. “Yang punya
makanan bisa langsung di bawa,’ tambahnya.
Semua bergegas, mengucek mata yang rasanya belum puas
mengatup. Gerakan tubuh menimbulkan bunyi gemeretukan otot-otot yang sudah
bekerja lebih kuat dari biasanya.
***
Suasana sunyi senyap. Gelap. Cahaya lampu kapal-kapal
pencari ikan terlihat bergerak diombang-ambing gelombang lautan. Begitu pun
lampu rumah penduduk Pulau Sebesi, bercahaya redup digoyang hembusan angin dini
hari. Gelapnya dini hari seolah menelan
pulau seluas 2620 Ha yang secara administratif berada di wilayah Desa
Tejang, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan. Pulau yang sebagian
besar tubuhnya berbentuk gunung dengan ketinggian 844m ini memiliki penghuni
lebih 2000 jiwa. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani dan nelayan.Dermaga Pulau Sebesi |
Sebesi selalu menjadi tuan rumah bagi wisatawan lokal dan mancanegara. Di samping memiliki fasilitas home stay dan transportasi kapal yang memadai, posisinya pun strategis menguntungkan wisatawan yang membidik Anak Krakatau sebagai destinasi wisata di akhir pekan. Agustus hingga Oktober adalah bulan-bulan tingginya jumlah wisatawan. Air laut surut, gelombang laut yang cenderung tenang dan pemandangan bawah laut yang begitu indah disinari matahari. Warna biru toska yng berimpitan dengan biru pekat menjadi pemandangan yang menggairahkan decak kagum. Mendekati Desember hingga awal tahun waktu yang tidak pas untuk berkunjung karena tingginya intensitas hujan dan badai pasang lautan.
“Berapa jam ke Anak Krakatau? “ tanyaku pada Al, pria yang membangunkan kami tadi.
“Sekitar dua jam dan nanti kita treking Gunung Anak Krakatau sekitar 30 menit.” Jawabnya.
Aku pun bergegas, berganti pakaian dan menuju dermaga Sebesi. Bercelana pendek dengan dua potong baju kaos tipis, walau sepertinya tidak berguna di hawa dingin angin pantai.
“Sialnya jaket hilang sebelum berguna di waktunya. Duh nasib,” gumamku lirih. Terbayang jaket parasut merah yang telah ku persiapkan entah di mana saat ini. Entah sudah dipakai awak bus di Pulo Gadung, pengamen jalanan atau penumpang bus yang kebetulan menemukan jaketku yang terjatuh. Akibatnya, aku harus cari cara agar tidak kedinginan di terjang angin laut.
Waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 wib. Dermaga sepi. Empat
kapal kayu terdampar merapat dan diayun-ayun ombak.
Aku menjejakkan kakiku ke atap kapal bersama delapan belas
orang dari kelompok backpacker travel Indonesia. Sejak Jumat malam aku sudah
bergabung bersama kelompok open trip ini. Ada peserta dari Solo, Kalimantan,
dan sebagian besar memang berasal dari Jakarta. Mereka semua adalah orang-orang
pencinta perjalanan. Menjejaki kaki di indahnya alam Indonesia. Mengisi waktu
di akhir pekan atau mengambil cuti sekalian. Menambah teman baru dalam canda
dan tawa. Sesaat meninggalkan hiruk piruk Jakarta.
Duduk di atas atap kapal tidak memungkinkan bagiku. Terjangan
angin laut bisa saja membuatku kedinginan dan masuk angin. Segera aku mengambil
celah, turun ke lantai satu kapal. Mencari posisi di samping kotak kayu yang
mengeluarkan suaru mesin yang menderu-deru. Aku merebahkan badan di lantai kayu
kapal. Headset kuletakkan di telinga, cukup membantu. Sesaat ku terlelap dalam
deru suara mesin dan dinginnya angin laut. Lelap.
Bersambung....
***
Langganan:
Postingan (Atom)