Malangnya Hambalang*

Mereka lagi berbicara soal Hambalang
Mereka lagi berdiskusi soal korupsi Hambalang
Mereka lagi berdebat ambruknya Hambalang

Mereka lagi saling serang wacana soal Hambalang
Mereka lagi mencari siapa pemenang
Entah pemenang mana yang diperjuangkan

Hambalang malang telah membuktikan ketidakmatangan pemerintah
Hambalang malang telah menunjukkan ketidakseriusan pemerintah
Hambalang malang telah membongkar kebobrokan pemerintah

Ah, mereka akan terus berwacana dan berencana
Menggunakan berbagai cara
Membungkam setiap kemungkinan yang ada

Negeri ini terlalu banyak wacana dan rencana
Entah sampai kapan
Sekarang mari nikmati dulu tayangan Hambalang yang malang.

*Hambalang merupakan proyek pusat sekolah olahraga di Bukit Hambalang, Bogor. Ambruk pada 25 Mei 2012

Diplomasi Ala Negeri Penakut

Indonesia kembali mencatat rekor ‘memuaskan’. Rekor dimana pemimpin negerinya lunak pada pengedar  narkoba internasional. Rekor ‘memuaskan’ itu berawal ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan grasi  (pengurangan hukuman) pada terpidana kasus narkoba kelahiran Brisbane Australia, Schapelle Leigh Corby, 34 tahun. Terpidana Corby tertangkap membawa 4,2 kilogram mariyuana ke Bali sekitar tujuh tahun silam.

Melalui Keputusan Presiden (Kepres) No 22/y/2012, tanggal 15 Mei 2012, Si Ratu Mariyuana akan menghirup udara bebas setelah melewati sisa masa hukumannya, delapan tahun lagi. Lima tahun merupakan angka fantastis yang diberikan oleh presiden pada pelaku narkoba. Tak pernah ada sebelumnya, sekalipun untuk warga Indonesia. Terlebih remisi diperketat pada permasalahan strategis seperti korupsi, pencucian uang, dan penjualan narkotika antar negara.

Presiden SBY boleh berkilah bahwa ini merupakan hak prerogatifnya sebagai kepala negara. Memang ini tak bisa dipermasalahkan pula secara hukum atau politik. Tapi publik negeri ini curiga, kenapa sang presiden memberikan grasi itu? Seperti ada ketidakterbukaan.

Dengan adanya grasi pada pelaku narkotika, Indonesia secara langsung telah terlihat lemah di mata internasional. Terlebih permasalahan warga negara di luar negeri sering tak menjadi prioritas. Apakah ada negosiasi dan hubungan mutualisme antara Indonesia dan Australia? Entahlah. 

Secara citra, mungkin Indonesia dielu-elukan sebagai negara demokratis dan menjunjung tinggi hukum dan perdamaian. Mungkin itu sebatas citra, tidak seperti tindak perilaku negara lain di sekitar negeri ini. Tak jauh-jauh, baru-baru ini Amerika Serikat melalui Menteri Pertahanan AS Leon Panetta menyatakan akan menambah kekuatan militer perang di kawasan Asia Pasifik. Menjelang 2020, Amerika akan menyelesaikan misi strategis keamanannya di kawasan ini dengan menempatkan 60 persen kekuatan perangnya. 

Belakangan ini juga, telah kita ketahui Amerika telah membangun pangkalan militer di Australia. AS telah mempertimbangkan menggunakan kepulauan Cocos atau di Samudera Indonesia yang terletak di lepas pantai Australia Barat Laut untuk meluncurkan pesawat pengintai tak berawak. Selain itu, AS menempatkan kapal induk dan kapal selam tempur bertenaga nuklir di Perth. Itu semua katanya dilakukan untuk menghadapi sangketa Laut Cina Selatan serta menjamin keamanan kawasan Asia Pasifik.

Kita boleh saja curiga bahwa grasi ratu mariyuana merupakan langkah awal Indonesia mendekati barat. Terlebih negeri ini tak memiliki sistem angkatan perang mutakhir. Kapal-kapal banyak yang usang, alutsista banyak ketinggalan zaman. Entah apa yang bisa dikedepankan jika suatu saat Asia Pasifik termasuk Laut Cina Selatan menjadi lahan bertempur AS versus Cina dan kroninya.

Negeri ini sudah sering menempuh jalur diplomasi. Sangketa perbatasan dengan Malaysia berlarut-larut diselesaikan dengan diplomasi. Negeri ini juga tak memiliki posisi tawar strategis jika berhadapan negara-negara adidaya. Mungkin negeri ini sudah disebut negeri penakut. 

Entah berapa ratu mariyuana lagi yang nanti bisa dijadikan materi berdiplomasi. Atau ratu-ratu lain yang bisa dipertukarkan demi keamanan dan perdamaian bangsa dan negara ini. Seperti kata pepatah “Jika ingin damai, bersiaplah untuk berperang” dan kita harus tahu bahwa itu sudah dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Semoga Indonesia mampu untuk menghadapi itu semua.

sumber:

Perkenalkan, Namaku Ide

Berpuluh-puluh buku telah aku baca. Ludahku telah kering untuk membantu membalikkan ratusan hingga ribuan halaman buku. Berbagai pengetahuan telah aku telan, aku pahami, dan terkadang aku rekam kuat diingatannku. Tapi aku masib belum puas.

Siapa sangka ternyata kepuasan itu relatif. Ada orang yang baru membaca satu buku lantas puas. Tapi aku tidak. Aku tak puas jika hanya membaca. Aku tak puas jika hanya tahu. Aku lebih tak puas jika aku hanya membaca terus lupa. Aku puas jika aku mempunyai ide. Ide yang bisa aku tulis dan dibaca oleh mereka-mereka yang tak puas.

Pernah satu ketika aku berjalan di jalanan raya. Melihat dan mendengar deru bising kendaraan. Matahari terik, panas membakar kulit.

Pernah pula di suatu ketika aku duduk termenung di depan rak-rak buku di sebuah perpustakaan. Rak-rak itu bertingkat-tingkat. Di setiap tingkat tertata rapi sesuai jenis dan klasifikasinya. Ada buku-buku yang terus menua termakan zaman. Rapuh, robek, dan berakhir di tong sampah. Tapi ada juga yang diawetkan dalam lemari kaca.

Pernah pula di satu ketika aku bergelantungan di bus kota. Teriakan keras kenek bus menggaet penumpang. Sesekali berhenti. Menaikkan dan menurunkan penumpang. Ada yang menggerutu kesal. Ada pula yang tertidur pulas di pojok jendela bus kota. Ada yang bergelantungan hingga tangannya keras beradu besi karatan. Ada pula yang risih ketika para pengamen dan anak jalanan menyodorkan tangan meminta uluran uang.

Pernah lagi di suatu ketika aku membaca habis sebuah surat kabar. Informasi berseliweran. Foto-foto terpajang dengan seni tata letak. Tulisan-tulisan berita memusingkan mata. Belum substansi informasi yang terkadang tak tepat sasaran. Ada berita korupsi. Ada berita narkoba. Ada pula berita pak presiden berikan grasi ratu mariyuana asal negeri kangguru. Ada berita lumpur yang tak usai-usai. Semuanya berpacu. Membaca yang tak perlu. Begitupun aku.

Pernah di satu ketika aku merasakan....... Ah, aku terlalu banyak berbicara ‘ketika’. ‘Ketika’ yang tak bisa memuaskan hasrat jiwa. Ingat, aku butuh kepuasan. Kepuasan untuk memiliki ide. Iya, aku tahu bahwa kepuasan itu relatif. Aku ingin menikmati kerelatifan kepuasan itu. Itu semua berawal dari ide.

Telah banyak aku melihat, mendengar dan merasakan. Belum ada sesuatu ide yang bisa aku munculkan. Ini berdampak pada kepuasaanku.

Aku mohon, ide datanglah kau saat ini. Aku ingin berkenalan denganmu. Aku ingin berpuas diri menikmatimu. Biar kepuasan ini bisa aku rasakan. Aku tularkan.  

Datanglah ide, kenalkan: ini aku. Aku yang mencarimu di setiap sisi. Aku telah mencarimu dimana-mana. Aku telah ke jalan raya. Aku telah ke perpustakaan penuh rak buku. Aku telah bergelantungan di bus kota. Aku pun telah membaca habis surat kabar hari ini. Tapi mengapa kau tak sudi berkenalan denganku wahai ide. Apa salahku. Apakah kau belum puas melihat perjuanganku untuk menemuimu. Sesulit itukah bisa mengenalmu?

Sungguh aku putus asa wahai ide. Aku tak tahu apalagi yang harus kulakukan. Jika kau tak cukup waktu untuk berkenalan denganku. Izinkan aku merasakan keberadaanmu. Biarkan dekapan eratmu membuatku mencapai kepuasan. Kepuasan yang membawaku pada senyum dan rasa bahagia.

Aku akan merenung lagi.

Aku akan mencoba menjawab. Kini aku tahu keberadaanmu wahai ide. Aku tahu. Kali ini kau tak bisa bersembunyi lagi. Sekarang aku bisa tersenyum. Kepuasanku mendapatkan dan menyalurkanmu segera terwujud.

Sekarang dengarkan wahai ide. Kau pasti ada dimana-mana. Kau ada di bus kota, kau ada di perpustakaan penuh rak buku, kau ada di jalanan dan kau ada di surat kabar. Sepertinya kau tidak pernah bersembunyi wahai ide. Kau terbuka. Mau berkenalan dengan siapa pun. Hanya saja aku yang lupa. Aku dan mereka lupa bahwa kau ada dalam pertanyaanku selama ini.

“Perkenalkan, ini aku. Kau pasti ide,” ujarku mengulurkan segala sesuatu.

“Iya. Aku Ide Cemerlang tepatnya. Terima kasih telah berkenalan denganku. Jaga aku agar tetap berkenalan denganmu,” ide menjawab sekenanya.

“Pasti akan. Karena aku sumber keberadaannmu,” jawabku sambil tersenyum.

Sekarang aku telah puas. Bagaimana dengan kau? Apakah sudah puas. Jika belum carilah idemu, berkenalanlah dan nikmati setiap kebersamaanmu mencapi kepuasaan yang relatif.

Jatinangor, 2012

Seribu aja ala mahasiswa....

Seribu aja.. seribu aja,” teriak gembira sekelompok muda-mudi di kemacetan lalu lintas Jl. Ir. H. Juanda, Dago, Bandung. Petang telah lalu, magrib pun telah usai. Malam telah menjelang diiringi teriakan muda-mudi menyanyikan seribu aja.

Sembari bernyanyi, seorang muda membunyikan gitarnya. Menyesuaikan irama. Memperindah suara, mengimbangi suara temannya yang terkadang terdengar sumbang.

Perlahan-lahan mereka mendekati mobil-mobil pribadi. Kebanyakan mobil ini berpelat B. Wajar, akhir pekan Bandung seperti tak lagi berpelat D, tetapi berpelat B mengingat banyaknya warga Jakarta menikmati akhir pekan di kota kembang ini.

Bagi sebagian orang baru, ulah muda-mudi menyanyikan seribu aja menjadi hiburan tersendiri. Tapi tidak bagi mereka yang terbiasa. Muda-mudi ini merupakan mahasiswa perguruan tinggi di Bandung dan sekitarnya. Aksi mereka pun seperti dimaklumi oleh para warga Kota Bandung.

Namun, dari nyanyian seribu aja, terdengar lirih jeritan para pengamen dan anak jalanan. Akhir pekan merupakan ladang uang yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh para warga yang hidup dijalanan. Tapi sekarang tidak. Recehan uang yang seharusnya dikantongi para penghuni jalanan harus berpindah ke tangan para mahasiswa. Miris, terlebih uang itu digunakan oleh mahasiswa untuk mengadakan suatu acara yang mengedepankan foya. Tak seperti penghuni jalanan yang membutuhkan uang demi menyambung hidup.

Ya, seribu aja selalu terngiang-ngiang ditelingaku ini. Terlebih ketika aku melewati jalan utama itu. Mereka tetap eksis. Bersanding, berpacu, merebut recehan uang walaupun uang seribu dengan anak jalanan dan pengamen jalanan.

Mereka mungkin lupa, seribu aja telah mencerminkan apa yang mereka pikirkan. Sosok akademisi yang seharusnya mengedepankan pemikiran harus bertekuk lutut di jalanan. Di tengah-tengah asap kendaraan kota, mereka mampu tertawa riang. Mengeroyoki para pengemudi kendaraan, mengumpuli uluran tangan terisi uang receh demi suatu event atau acara.

Aku bingung, ingin mencoba merasakan. Apa rasanya menyanyikan seribu aja di tengah hiruk pikuk lalu lintas. Klakson pengemudi tak sabaran seolah-olah menjadi nada baru pengiring suara gitar demi menutupi suara sumbang tak karuan.

Ah, seribu aja terus terngiang ketika aku tuliskan gejolak pemikiranku. Tak sanggup mencerna kata seribu aja. Apakah ini nada paksaan? Atau kepasrahan jiwa yang hanya mampu mengumpulkan seribu demi seribu aja hingga malam semakin dingin? Atau jangan-jangan. Sudahlah mereka akan terus bernyanyi. Mereka, kini nanti dan akan datang. 

Korban Senjata

Ia tak tahu mau berbuat apalagi. Semua perintah dari atasan telah ia selesaikan dengan baik. Semua penyergapan tindak pidana kriminalitas telah ia selesaikan pula. Tapi semua itu seolah tak berarti jika ia berhadapan dengan komandannya. Ia merasa ada yang tidak beres.

“Fret, sini kau,” ujar seorang pria di dalam ruangan.

“Siap Pak,” ujar Fret sembari bangkit dari perenungan panjang di kursi yang sejak dua jam lalu ia duduki. Hati Fret berharap tak ada kesalahan yang ia perbuat di mata komandannya.

Fret masih mengingat jelas, dua tahun lalu ketika ia masih latihan di lapangan hijau di sebuah markas kepolisian di sebuah negara yang mengaku demokrasi. Dengan semangat tinggi, Fret memulai aktivitas pertamanya sebagai polisi di sebuah kantor kepolisian, tepat waktu itu Jumat pagi, 5 Mei 2010. Berbaris rapi, bernyanyi, hormat dan mendengar perintah komandan.

Sekarang, tepat dua tahun ia berkarir di dunia aparat penegak hukum. Pangkatnya mulai menanjak naik. Ia diperintahkan memimpin satu tim kecil kepolisian. Tak banyak. Enam orang. Bertujuh jika ditambah Fret. Bersama tim kecilnya itu Fret berhasil membekuk jaringan narkoba di Jakarta. Ketangkasan individu serta kekompakan tim membuat Fret semakin dikenal dikalangan kepolisian.

“Kenapa kau tangkap aparat keamanan dari intansi lain,” ujar komandanya keras.

“Mereka bersalah,” ujar Fret singkat.

“Saya tahu. Tak semua orang bersalah kau tangkap. Lihat dulu siapa yang kan kau tangkap. Jika masyarakat sipil boleh-boleh saja kau tangkap. Tapii.....,” jelas komandannya panjang.

“Ini instansi tentara Fret. Bisa berbahaya jika mereka balas dendam,” tambah komandannya.

“Saya tak mengerti,” Fret pun berujar singkat. Di dalam hatinya bertanya-tanya, mengapa harus membedakan sipil dan aparat? Huh. Jika mereka bersalah, tak pandang bulu harus ditangkap berontak hati nuraninya.

“Kau harus lepaskan mereka,” tegas komandannya.

“Apa? Lepaskan? Tidak,” bantah Fret.

Masih teringat jelas dibenak Fret akan kejadian dua hari lalu. Selama 2 minggu, Fret bersama timnya mengintai sebuah rumah mungil dibantaran sungai Ciliwung Jakarta. Dilihat selintas tak ada yang istimewa dengan rumah itu. Tapi setiap hari para aparat berpakaian hijau hilir mudik keluar masuk rumah mungil itu. Mobil-mobil mewah terparkir, tetap ramai 24 jam.

Berdasarkan informasi warga, rumah mungil itu adalah tempat transaksi narkoba. “Pemainnya aparat keamanaan,” ujar seorang warga tanpa menjelaskan spesifik aparat yang mana. Informasi warga itu pun diperkuat dengan pengamaan tim Fret selama 2 minggu. Hasilnya: positif tempat transaksi narkoba.

Tanpa babibu, Fret dan tim menggrebek rumah mungil tanpa dosa itu Senin malam. Penggrebekan itu berhasil menangkap 3 orang aparat berpakaian hijau loreng. Ketiga tersangka ini pun dikurung beserta alat bukti 5 kg ganja kering dan 15 butir pil ekstasi.

“Fret,” gertak komandannya sekali lagi.

“Siap komandan.”

“Lepaskan mereka yang kau tangkap. Ini perintah atasanmu Fret.”

“Siap tidak, sekalipun nyawa saya sebagai taruhan.”

“Sekali lagi Fret. Lepaskan mereka! Jika tidak instansi mereka akan menyerang kita.”

“Siap tidak komandan.”

Fret tetap bergeming dengan pendiriannya.

“Door..”

Selonsong peluru kecil mendarat di kening Fret. Senyum puas merebak di wajah komandannya. Terlihat asap mengepul di moncong senjata apa ditangannya.

“Brukk.” Fret pun ambruk. Darah mengucur di keningnya. Setelah terjatuh ia kejang sesaat. Selanjutnya diam tak bergerak. Fret bergeming. Tewas. Bergeming bersama keyakinannya memihak pada kebenaran. Walaupun harus meregang nyawa, Fret dengan tegas menolak perintah atasannya bermental pengecut. Pengecut. Pecundang cecungut yang takut mempertahankan kebenaran.

Fret telah pergi meninggalkan kehidupan penuh sandiwara ini. Buat apa hidup di tengah ketidakadilan. Semua orang pencinta kebenaran dan keadilan pastilah merindukan Fret. Begitu juga tim kecilnya yang akan senantiasa mengingat Fret ketika mereka bersama di saat senang dan sedih. Fret telah damai termakan seloncong peluru atasannya. Sekarang giliran atasannya berhadapan dengan ketidakpastian hukum demi menebus kesalahan. Belum lagi permasalahan dari instansi lain yang tiga orang anggotanya dilepaskan oleh atasan Fret. Mereka mau balas dendam.

“Perang baru dimulai komandan” lirih pasukan kecil Fret dihati mereka masing-masing.

Sebuah cerpen: Bandung, Mei 2012

Duh Panca....

“Hore.. hari ini ulang tahunku” teriak Panca berlarian di depan rumah kayu beratap rumbia.

“Hati-hati jatuh,” teriak ibu Panca sembari terus membersihkan beras dari ulat beras hitam.

“Bu, hari ini ada makan apa? Aku kan lagi berulang tahun?”

“Kita makan seperti biasa Panca. Nasi ditemani ikan asin dan sayur kangkung.”

“Ohh.”

Panca pun meninggalkan ibunya yang baru saja selesai menghilangkan ulat beras. Begitulah pekerjaan ibunya sebelum menanak nasi, menghilangkan ulat.

Tepat 5 Juni 1945 Panca dilahirkan. Suasana mencekam dalam peperangan mewarnai isak tangis Panca. Desingan peluru, teriakan merdeka menjadi nada alam menyambut kehadirannya. Pada hari ke 152 dalam kalender Georgian atau hari ke 153 di kalender kabisat, Panca hadir ditengah keluarganya. Ia masih bersyukur sekarang masih memiliki ibu dan empat orang kakaknya. Ayahnya tak jelas ia ingat. Tewas di medan pertempuran bersama tentara Indonesia, begitu cerita yang ia dapatkan dari ibunya.

Sekarang panca telah berumur lima tahun. Bocah lelaki yang memiliki harapan besar di masa mendatang. Walaupun tinggal di rumah kayu beratap rumbia, Panca tetap sehat. Hatinya tenang. Sesekali tetasan air hujan malam membasahi wajahnya sehingga ia terbangun. Cahaya matahari siang mencoba bersembunyi masuk ke rumah panca melalui lobang-lobang rumbia.

“Panca, makan Nak,” teriak ibunya.

Kebetulan hari ini keempat kakak laki-lakinya sedang tak dirumah. Jika digabung, Panca bersaudara selaiknya Pandawa Lima dipenokohan wayang. Ada Yudistira, Bhimasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Sengaja tak berurutan. Panca ingin menjadi lelaki selaiknya Arjuna. Tegas dan memiliki pendirian.

“Iya Bu,” ujar Panca mendekati meja makan.

 Ada semangkok nasi. Warnanya putih kekuning-kuningan. Lima potong ikan asin bakar terletak di piring kecil. Di meja itu juga ada semangkok sayur kangkung. Kangkung yang dipetik Panca kemarin sore ketika berkunjung ke sawah pamannya di desa seberang. Desa Maipo, tepatnya bersebelahan dengan desa Panca, Rainawi. Tak jelas pasti oleh Panca desanya masuk administrasi mana. Yang jelas, lima tahun Panca hidup ia berada di negara yang merdeka, Indonesia.

Sembari makan, ibunya pun bercoleteh banyak hal. Tentang masa depan Panca dan negeri dimana Panca bertempat tinggal.

“Sepuluh atau dua puluh tahun lagi, mungkin kau telah berperan besar di negeri ini Nak,” ujar ibunya sambil terus menyuapkan nasi ke mulut Panca. “Kau harus tau nak, ketika Kau dilahirkan, negara Indonesia belum merdeka. Masih dijajah Jepang.  Tepat 1 Juni 1945, Soekarno atau dikenal Bung Karno mencetuskan gagasannya berupa Pancasila. Panca artinya lima, jadi lima sila.”

Sambil mengunyah makanan, Panca terus mendengarkan ibunya. Pastinya ia tak mengerti apa yang ibu bicarakan. Walau tak mengerti Panca terus mendengarkan ibunya.

“Pancasila itu membicarakan banyak hal Nak. Ada ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial,” jelas ibunya.

Hanya keadilan yang dimengerti oleh Panca. Jelas teringat ketika ibunya berbagi jambu biji pada Panca dan tiga orang temannya. Masing-masing mendapatkan dua butir jambu biji. “Harus adil dalam berbagi,” terngiang ibunya menjelaskan padanya dulu.

Nasi dipiring akhirnya habis. Panca telah kenyang. Di meja makan masih tersisa nasi beserta lauk untuk keempat kakaknya. Kantung pun menyerang Panca. Lambat laun Panca pun tertidur dikursi kayu. Terlelap dan bermimpi.

Jalanan panjang telah dilalui. Banyak hal telah disaksikan. Suka duka tak terelaki. Menjadi bumbu indahnya kehidupan. Telah 67 tahun hidup, Panca merasakan dirinya tak berdaya lagi.Wajahnya keriput. Untuk jalan pun suli
Jelas terlihat di depan matanya kekerasan merajalela. Masyarakat miskin kian bertambah. Berbanding terbalik dengan berkurangnya sumber daya alam bangsa ini. Tak ada lagi ketenangan. Beberapa umat harus berhadapan maut di saat beribadah. Kesahjateraan semakin sulit dicari. Dibantaran rel kereta api atau dipinggir sungai yang telah tercemar. Rumah bertingkat, jalan raya serta gemerlap kota telah membuktikan bahwa negeri ini sudah tua. Entah sampai kapan bisa bertahan.
Korupsi merajalela. Hukum tak lagi ditegakkan. Tajam pada mereka tak berpunya. Tumpul pada mereka berkantung tebal. Semua orang berharap. Tapi harapan itu tak kunjung datang. Entah siapa yang bisa membereskan semua permasalahan bangsa ini.
Di ujung jalan, Panca merenung. Panas terik matahari kota megapolitan Jakarta tak hirau. Panca merasa dirinya tak berguna lagi. Ada panca atau lima hal yang ibunya pernah katakan. Ada ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Semuanya lambat laun telah tergerus. Panca merasa tak sanggup lagi menegakkan kelima hal tadi. Pastinya dibutuhkan Panca-panca baru berjiwa kesatria selaiknya Arjuna memerangi angkara murka Kurawa. Duh Panca, sungguh memperihatinkan keadaanmu.

            . Elusan tangan lembut ibu dikeningnya membuat Panca kecil pun tersentak bangun. Terbangun, lalu ia tercenung sejenak. Berusaha mengingat-ingat mimpi yang ia peroleh. Semakin dalam ia mengingat, semakin hilang ingatan itu. Panca tak sanggup menggapai. Ia hanya bergumam. Suatu saat ia kan menggapai itu semua.

Cerpen 1 Juni 1945-1 Juni 2012 : Selamat Lahir Pancasila.